Di zaman pemerintahan Gubernur Jakarta Ali Sadikin, praktik perjudian sempat ‘dilegalkan’. Kala itu, bang Ali ditugaskan untuk membangun ibu kota yang tengah bersolek.
Namun melihat anggaran yang terlalu kecil untuk bisa membangun Jakart, beliau kemudian mencari cara untuk menambah pemasukan APBN.
Salah satu solusinya, yakni dengan melegalkan praktik judi di Jakarta dan mendirikan sejumlah lokalisasi yang dikhususkan untuk berjudi dan memungut pajak darinya.
Saat dilegalisasikan, Ibu Kota Jakarta sempat kaya berkat pajak judi. Dari industri ini, konon bisa menggemukan anggaran Pemprov DKI dari hanya Rp66 juta per tahun menjadi Rp122 miliar pada 1977.
Nominal tersebut kemudian digunakan untuk membangun berbagai sarana seperti sekolah, jalan raya, halte bus, dan beberapa ikon Jakarta seperti Monas dan Taman Ismail Marzuki.
Lantas apa hubungannya dengan judi lotto ? judi turunan dari lotere ini pernah menjadi primadona di kalangan masyarakat pada tahun 1968 silam.
Jenis lotre ini hampir sama dengan togel yang saat ini beredar. Lotre yang dipasarkan berupa kupon undian berhadiah yang diminati oleh masyarakat kala itu.
Keuntungan yang diperoleh dari penjualan Lotto ternyata lebih dari cukup untuk menutup kekurangan dana penyelenggaraan PON.
Lotto sering disebut juga dengan lotre buntut. Hal tersebut dilihat dari sistem permainannya.
Hadiah yang ditawarkan dari lotre buntut nalo diambil dari 2 angka terakhir yang ada pada rangkaian nomornya.
Hadiah yang ditawarkan pada lotre buntut lotto diambil dari 2 angka terakhir dari 6 angka yang sebelumnya telah dikeluarkan.
Pengambilan 2 angka di belakang itulah yang menjadikan keduanya disebut dengan buntut.
Angka yang digunakan dalam pemasangan nomor judi Hwa-Hwee ini berjumlah 36 dan 38 angka. Cara pengundian judi lotto ini dengan cara menggantung nomor
yang akan dikeluarkan sehari sebelum acara penarikan
Jangan dikira bahwa judi lotto hanya boleh dilakukan oleh kalangan berduit saja. Lotto justru banyak diminati masyarakat menengah ke bawah. Hal tersebut karena penjualan nalo terbilang bebas dan banyak dijumpai di mana saja.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa keuntungan yang didapat tersebut membawa manfaat yang besar bagi pembangunan daerah kala itu.
Keberhasilan Ali Sadikin ternyata mampu menjadi trigger bagi Gubernur Jawa Timur kala itu, yakni Mohammad Noer yang kemudian menyelenggarakan Lotto.
Menariknya, judi lotto dipergunakan untuk pendanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-VII tahun 1969 yang berlangsung di Kota Surabaya.
Alasannya, sebagai pendanaannya karena kondisi Indonesia yang pada saat sedang mengalami keterpurukan ekonomi pasca Orde Lama.
Kebijakan sanering yang diberlakukan pemerintah untuk memulihkan keadaan ekonomi Indonesia, membuat turunnya produktivitas industri di Kota Surabaya.
Ditambah lagi dengan diberlakukannya kebijakan efisiensi anggaran yang makin menyusahkan daerah-daerah di Indonesia.
Dalam kebijakan efisiensi anggaran, yang diberlakukan dalam tiap-tiap jenjang pemerintahan mulai dari pusat sampai daerah.
Dana yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk daerah hanya sedikit dan terbatas sehingga tidak mungkin mengandalkan keuangan dari pemerintah untuk mendanai pelaksanaan PON VII.
Lotto yang berhasil mensukseskan acara PON VII dan berhasil memperbarui serta membangun fasilitas-fasilitas publik untuk pendukung acara PON VII.
Namun, jauh sebelum pelaksanaan PON VII dan lotto PON masih dalam tahap wacana, sudah banyak kontroversi yang timbul didalam masyarakat.
Banyak pihak yang tidak setuju serta menolak pencarian dana PON menggunakan lotto. Pasalnya banyak efek yang ditimbulkan karena diserapnya uang dari masyarakat Surabaya juga tidak sedikit.
Banyak orang yang kecanduan dengan lotto tersebut. Setiap hari mereka sibuk menerka-nerka berapakah angka yang akan keluar.
Di sisi lain banyak orang yang memanfaatkan momen ini untuk mencari penghasilan tambahan.
Mulai dari remaja, hingga orang dewasa berkesempatan menjual kode-kode buntut untuk acuan bagi pencandu Lotto dalam menerka nomor yang akan keluar.
Penjual kode buntut biasanya berjualan di sekitar Jalan Pemuda, Embong Malang, Ondemohen, Yos Sudarso, dan Halaman TH.
Permasalahan lain yang timbul karena adanya Lotto tersebut adalah tidak berkenannya salah satu kontingen PON VII dalam mengikuti perhelatan PON di Surabaya.
Mereka mengetahui kalau dana yang digunakan untuk membiayai pesta olahraga tersebut berasal dari hasil Lotto.
Mereka tidak mau dibiayai dari uang hasil judi, karena dianggap haram oleh mereka. Munculnya protes dari salah satu kontingen PON tersebut panitia PON kemudian menghentikan sementara Lotto PON.
Setelah perhelatan PON VII di Surabaya selesai dilaksanakan, maka Lotto-lotto tersebut juga dihentikan peredarannya (Koran Kompas Sabtu 06 September 1969, hlm 2)